Siang itu aku dapat order menemani Si Boss, melayat seorang teman. satu kloter jamah haji. Temannya bos ini disamping seorang guru agama sebuah SMP, juga seorang ustad yang aktif mengisi ceramah di berbagai majlis taklim.
Sesampai di rumah duka sudah banyak orang ygang datang melayat. Di bawah tenda terpal yang dibentangkan di jalan depan rumah duka, telah disesaki oleh ratusan orang yang terlihat demikian saleh. Dengan baju koko dan kopyah di kepalanya. Akupun segera mengambil tempat di deretan agak belakang.
Sesampai di rumah duka sudah banyak orang ygang datang melayat. Di bawah tenda terpal yang dibentangkan di jalan depan rumah duka, telah disesaki oleh ratusan orang yang terlihat demikian saleh. Dengan baju koko dan kopyah di kepalanya. Akupun segera mengambil tempat di deretan agak belakang.
Di belakangku dua lelaki terlibat pembicaraan yang super serius tentang orang yang meninggal. "dia Ustad yang baik, kalo diundang ngisi pengajian nggak pernah melihat isi amplop yang dia terima" kata seorang pria berkaca mata. Dari cerita orang-orang di sekitarku, aku jadi tahu bahwa teman si bos ini ternyata seorang ustad yang sudah punya nama. Selain mengajar sebagai guru agama di sebuah SMP, beliau juga aktif mengisi pengajian di majlis taklim.
Siang semakin panas, badanku basah oleh keringat. Daripada kering akhirnya kuputuskan untuk pindah posisi ke bawah pohon yang tak jauh dari situ. Akupun segera duduk bersama beberapa pemuda yang tengah asyik larut dengan suatu cerita. "jane piye ta critane dab... " tanya seorang pemuda membuka pembicaraan. Bergaya seorang menteri penerangan sang pemuda gondrong bertato itupun membuka cerita. " malam itu saya glempo dan budi nglapen di perempatan. Saya sama glempo sudah ndak kuat, tapi Budi belum menthit, makanya dia terus gabung sama yang pesta di gardu ronda. Nafsu gede tapi badan sudah ndak kuat akhirnya budi ambruk terus meninggal"
"Budi itu pak ustad yang meninggal ini" tanyaku kebingungan. "betul boss... dia itu teman mabuk kami" kata seoarang pemuda ceking yang tubuhnya benar-benar hanya tulang berbalut kulit.
"Masak ada ustad doyan mabuk dik?" tanyaku nggak percaya. "lha emang nyatanya gitu koq pak" sergah pemuda bermata merah yang mulutnya beraroma sawo matang. "wah berarti pak budi ini hebat ya, bisa menjadi pegiat dua dunia, dunia ngaji dan dunia mabuk sekaligus" kataku sambil ngloyor.
Siang semakin panas, badanku basah oleh keringat. Daripada kering akhirnya kuputuskan untuk pindah posisi ke bawah pohon yang tak jauh dari situ. Akupun segera duduk bersama beberapa pemuda yang tengah asyik larut dengan suatu cerita. "jane piye ta critane dab... " tanya seorang pemuda membuka pembicaraan. Bergaya seorang menteri penerangan sang pemuda gondrong bertato itupun membuka cerita. " malam itu saya glempo dan budi nglapen di perempatan. Saya sama glempo sudah ndak kuat, tapi Budi belum menthit, makanya dia terus gabung sama yang pesta di gardu ronda. Nafsu gede tapi badan sudah ndak kuat akhirnya budi ambruk terus meninggal"
"Budi itu pak ustad yang meninggal ini" tanyaku kebingungan. "betul boss... dia itu teman mabuk kami" kata seoarang pemuda ceking yang tubuhnya benar-benar hanya tulang berbalut kulit.
"Masak ada ustad doyan mabuk dik?" tanyaku nggak percaya. "lha emang nyatanya gitu koq pak" sergah pemuda bermata merah yang mulutnya beraroma sawo matang. "wah berarti pak budi ini hebat ya, bisa menjadi pegiat dua dunia, dunia ngaji dan dunia mabuk sekaligus" kataku sambil ngloyor.
ditulis ulang dari cerita seorang teman saat mancing.
catatan:
kesamaan nama & peristiwa hanya kebetulan belaka...
kesamaan nama & peristiwa hanya kebetulan belaka...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar