Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Bali, akhir Mei 2009. Beberapa orang datang ke rumah sakit ini dengan keluhan kepala pusing dan mata tak dapat melihat. Bahkan, ada yang koma. Para korban berasal dari berbagai daerah, seperti Denpasar, Tabanan, Gianyar, dan Badung. Penyebabnya diduga sama. Menenggak arak oplosan.
Hari ketiga, 14 orang harus dilarikan ke rumah sakit usai menenggak arak oplosan. Sebanyak 12 orang dinyatakan tewas dan dua lainnya masih harus dirawat secara intensif. Polisi pun menyelidiki kasus ini. Sayang, seluruh minuman yang diduga menjadi penyebab keracunan telah ditenggak habis para korban. Barang bukti menjadi minim.
Titik terang mulai didapat polisi saat menyelidiki rumah kos salah satu korban di kawasan Kwanji, Kabupaten Badung. Di sini, polisi menemukan sisa arak yang diminum. Ketika isi kandungan cairan tengah diperiksa di laboratorium forensik, jumlah korban tewas terus bertambah menjadi 17 orang. Sementara 17 orang lainnya masih bisa diselamatkan.
Guna menghindari bertambahnya jumlah korban, Kepolisian Daerah Bali menyegel pabrik penghasil minuman tradisional beralkohol di wilayah Dalung, Badung. Diduga, dari pabrik inilah arak oplos dibeli sejumlah korban. Hasil penyelidikan Polda Bali, arak oplosan mengandung methanol, senyawa kimia beracun yang biasa dipakai untuk industri atau bahan bakar. Jumlah kandungannya, lebih dari 30 persen. Bila dikonsumsi, efeknya baru dirasakan delapan hingga 36 jam kemudian dan bisa mengakibatkan kematian.
Kini, jumlah korban tewas mencapai 26 orang, empat di antaranya adalah warga negara asing. Polisi menetapkan Made Rai Suweca, pemilik pabrik arak, serta penanggung jawab pabrik, I Putu Suwastana, sebagai tersangka. Mereka dijerat dengan Undang-Undang tentang kesehatan, pangan, dan perlindungan konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar